Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana
penulis : Inayati
Aku memandang kalender yang terletak di meja dengan kesal. Sabtu, 30
Maret 2002, hari ulang tahun perkawinan kami yang ketiga. Dan untuk
ketiga kalinya pula Aa’ lupa. Ulang tahun pertama, Aa’ lupa karena harus
rapat dengan direksi untuk menyelesaikan beberapa masalah keuangan
perusahaan. Sebagai Direktur keuangan, Aa’ memang berkewajiban
menyelesaikan masalah tersebut. Baiklah, aku maklum. Persoalan saat itu
memang lumayan pelik.
Ulang tahun kedua, Aa’ harus keluar kota untuk melakukan presentasi.
Kesibukannya membuatnya lupa. Dan setelah minta maaf, waktu aku
menyatakan kekesalanku, dengan kalem ia menyahut,” Dik, toh aku sudah
membuktikan cintaku sepanjang tahun. Hari itu tidak dirayakan kan tidak
apa-apa. Cinta kan tidak butuh upacara…”
Sekarang, pagi-pagi ia sudah pamit ke kantor karena harus menyiapkan
beberapa dokumen rapat. Ia pamit saat aku berada di kamar mandi. Aku
memang sengaja tidak mengingatkannya tentang ulang tahun perkawinan
kami. Aku ingin mengujinya, apakah ia ingat atau tidak kali ini.
Nyatanya? Aku menarik napas panjang.
Heran, apa sih susahnya mengingat hari ulang tahun perkawinan sendiri?
Aku mendengus kesal. Aa’ memang berbeda dengan aku. Ia kalem dan tidak
ekspresif, apalagi romantis. Maka, tidak pernah ada bunga pada
momen-momen istimewa atau puisi yang dituliskan di selembar kertas merah
muda seperti yang sering kubayangkan saat sebelum aku menikah.
Sedangkan aku, ekspresif dan romantis. Aku selalu memberinya hadiah
dengan kata-kata manis setiap hari ulang tahunnya. Aku juga tidak lupa
mengucapkan berpuluh kali kata I love you setiap minggu. Mengirim pesan,
bahkan puisi lewat sms saat ia keluar kota. Pokoknya, bagiku cinta
harus diekspresikan dengan jelas. Karena kejelasan juga bagian dari
cinta.
Aku tahu, kalau aku mencintai Aa’, aku harus menerimanya apa adanya.
Tetapi, masak sih orang tidak mau berubah dan belajar? Bukankah aku
sudah mengajarinya untuk bersikap lebih romantis? Ah, pokoknya aku kesal
titik. Dan semua menjadi tidak menyenangkan bagiku. Aku uring-uringan.
Aa’ jadi benar-benar menyebalkan di mataku. Aku mulai menghitung-hitung
waktu dan perhatian yang diberikannya kepadaku dalam tiga tahun
perkawinan kami. Tidak ada akhir minggu yang santai. Jarang sekali kami
sempat pergi berdua untuk makan malam di luar. Waktu luang biasanya
dihabiskannya untuk tidur sepanjang hari. Jadilah aku manyun sendiri
hampir setiap hari minggu dan cuma bisa memandangnya mendengkur dengan
manis di tempat tidur.
Rasa kesalku semakin menjadi. Apalagi, hubungan kami seminggu ini memang
sedang tidak baik. Kami berdua sama-sama letih. Pekerjaan yang
bertumpuk di tempat tugas kami masing-masing membuat kami bertemu di
rumah dalam keadaan sama-sama letih dan mudah tersinggung satu sama
lain. Jadilah, beberapa kali kami bertengkar minggu ini.
Sebenarnya, hari ini aku sudah mengosongkan semua jadual kegiatanku. Aku
ingin berdua saja dengannya hari ini dan melakukan berbagai hal
menyenangkan. Mestinya, Sabtu ini ia libur. Tetapi, begitulah Aa’. Sulit
sekali baginya meninggalkan pekerjaannya, bahkan pada akhir pekan
seperti ini. Mungkin, karena kami belum mempunyai anak. Sehingga ia
tidak merasa perlu untuk meluangkan waktu pada akhir pekan seperti ini.
”Hen, kamu yakin mau menerima lamaran A’ Ridwan?” Diah sahabatku
menatapku heran. ”Kakakku itu enggak romantis, lho. Tidak seperti suami
romantis yang sering kau bayangkan. Dia itu tipe laki-laki serius yang
hobinya bekerja keras. Baik sih, soleh, setia… Tapi enggak humoris.
Pokoknya, hidup sama dia itu datar. Rutin dan membosankan. Isinya cuma
kerja, kerja dan kerja…” Diah menyambung panjang lebar. Aku cuma
senyum-senyum saja saat itu. Aa’ memang menanyakan kesediaanku untuk
menerima lamaranku lewat Diah.
”Kamu kok gitu, sih? Enggak senang ya kalau aku jadi kakak iparmu?”
tanyaku sambil cemberut. Diah tertawa melihatku. ”Yah, yang seperti ini
mah tidak akan dilayani. Paling ditinggal pergi sama A’ Ridwan.” Diah
tertawa geli. ”Kamu belum tahu kakakku, sih!” Tetapi, apapun kata Diah,
aku telah bertekad untuk menerima lamaran Aa’. Aku yakin kami bisa
saling menyesuaikan diri. Toh ia laki-laki yang baik. Itu sudah lebih
dari cukup buatku.
Minggu-minggu pertama setelah perkawinan kami tidak banyak masalah
berarti. Seperti layaknya pengantin baru, Aa’ berusaha romantis. Dan aku
senang. Tetapi, semua berakhir saat masa cutinya berakhir. Ia segera
berkutat dengan segala kesibukannya, tujuh hari dalam seminggu. Hampir
tidak ada waktu yang tersisa untukku. Ceritaku yang antusias sering
hanya ditanggapinya dengan ehm, oh, begitu ya… Itupun sambil
terkantuk-kantuk memeluk guling. Dan, aku yang telah berjam-jam
menunggunya untuk bercerita lantas kehilangan selera untuk melanjutkan
cerita.
Begitulah… aku berusaha mengerti dan menerimanya. Tetapi pagi ini,
kekesalanku kepadanya benar-benar mencapai puncaknya. Aku izin ke rumah
ibu. Kukirim sms singkat kepadanya. Kutunggu. Satu jam kemudian baru
kuterima jawabannya. Maaf, aku sedang rapat. Hati-hati. Salam untuk Ibu.
Tuh, kan. Lihat. Bahkan ia membutuhkan waktu satu jam untuk membalas
smsku. Rapat, presentasi, laporan keuangan, itulah saingan yang merebut
perhatian suamiku.
Aku langsung masuk ke bekas kamarku yang sekarang ditempati Riri adikku.
Kuhempaskan tubuhku dengan kesal. Aku baru saja akan memejamkan mataku
saat samar-samar kudengar Ibu mengetuk pintu. Aku bangkit dengan malas.
”Kenapa Hen? Ada masalah dengan Ridwan?” Ibu membuka percakapan tanpa
basa-basi. Aku mengangguk. Ibu memang tidak pernah bisa dibohongi. Ia
selalu berhasil menebak dengan jitu.
Walau awalnya tersendat, akhirnya aku bercerita juga kepada Ibu. Mataku
berkaca-kaca. Aku menumpahkan kekesalanku kepada Ibu. Ibu tersenyum
mendengar ceritaku. Ia mengusap rambutku. ”Hen, mungkin semua ini salah
Ibu dan Bapak yang terlalu memanjakan kamu. Sehingga kamu menjadi
terganggu dengan sikap suamimu. Cobalah, Hen pikirkan baik-baik. Apa
kekurangan Ridwan? Ia suami yang baik. Setia, jujur dan pekerja keras.
Ridwan itu tidak pernah kasar sama kamu, rajin ibadah. Ia juga baik dan
hormat kepada Ibu dan Bapak. Tidak semua suami seperti dia, Hen. Banyak
orang yang dizholimi suaminya. Na’udzubillah!” Kata Ibu.
Aku terdiam. Yah, betul sih apa yang dikatakan Ibu. ”Tapi Bu, dia itu
keterlaluan sekali. Masak Ulang tahun perkawinan sendiri tiga kali lupa.
Lagi pula, dia itu sama sekali tidak punya waktu buat aku. Aku kan
istrinya, bu. Bukan cuma bagian dari perabot rumah tangga yang hanya
perlu ditengok sekali-sekali.” Aku masih kesal. Walaupun dalam hati aku
membenarkan apa yang diucapkan Ibu.
Ya, selain sifat kurang romantisnya, sebenarnya apa kekurangan Aa’?
Hampir tidak ada. Sebenarnya, ia berusaha sekuat tenaga untuk
membahagiakanku dengan caranya sendiri. Ia selalu mendorongku untuk
menambah ilmu dan memperluas wawasanku. Ia juga selalu menyemangatiku
untuk lebih rajin beribadah dan selalu berbaik sangka kepada orang lain.
Soal kesetiaan? Tidak diragukan. Diah satu kantor dengannya. Dan ia
selalu bercerita denganku bagaimana Aa’ bersikap terhadap rekan-rekan
wanitanya di kantor. Aa’ tidak pernah meladeni ajakan Anita yang tidak
juga bosan menggoda dan mengajaknya kencan. Padahal kalau mau, dengan
penampilannya yang selalu rapi dan cool seperti itu, tidak sulit buatnya
menarik perhatian lawan jenis.
”Hen, kalau kamu merasa uring-uringan seperti itu, sebenarnya bukan
Ridwan yang bermasalah. Persoalannya hanya satu, kamu kehilangan rasa
syukur…” Ibu berkata tenang.
Aku memandang Ibu. Perkataan Ibu benar-benar menohokku. Ya, Ibu benar.
Aku kehilangan rasa syukur. Bukankah baru dua minggu yang lalu aku
membujuk Ranti, salah seorang sahabatku yang stres karena suaminya
berselingkuh dengan wanita lain dan sangat kasar kepadanya? Bukankah aku
yang mengajaknya ke dokter untuk mengobati memar yang ada di beberapa
bagian tubuhnya karena dipukuli suaminya?
Pelan-pelan, rasa bersalah timbul dalam hatiku. Kalau memang aku ingin
menghabiskan waktu dengannya hari ini, mengapa aku tidak mengatakannya
jauh-jauh hari agar ia dapat mengatur jadualnya? Bukankah aku bisa
mengingatkannya dengan manis bahwa aku ingin pergi dengannya berdua saja
hari ini. Mengapa aku tidak mencoba mengatakan kepadanya, bahwa aku
ingin ia bersikap lebih romantis? Bahwa aku merasa tersisih karena
kesibukannya? Bahwa aku sebenarnya takut tidak lagi dicintai?
Aku segera pamit kepada Ibu. Aku bergegas pulang untuk membereskan rumah
dan menyiapkan makan malam yang romantis di rumah. Aku tidak
memberitahunya. Aku ingin membuat kejutan untuknya.
Makan malam sudah siap. Aku menyiapkan masakan kegemaran Aa’ lengkap
dengan rangkaian mawar merah di meja makan. Jam tujuh malam, Aa’ belum
pulang. Aku menunggu dengan sabar. Jam sembilan malam, aku hanya
menerima smsnya. Maaf aku terlambat pulang. Tugasku belum selesai.
Makanan di meja sudah dingin. Mataku sudah berat, tetapi aku tetap
menunggunya di ruang tamu.
Aku terbangun dengan kaget. Ya Allah, aku tertidur. Kulirik jam dinding,
jam 11 malam. Aku bangkit. Seikat mawar merah tergeletak di meja. Di
sebelahnya, tergeletak kartu ucapan dan kotak perhiasan mungil. Aa’
tertidur pulas di karpet. Ia belum membuka dasi dan kaos kakinya.
Kuambil kartu ucapan itu dan kubuka. Sebait puisi membuatku tersenyum.
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Lewat kata yang tak sempat disampaikan
Awan kepada air yang menjadikannya tiada
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
Dengan kata yang tak sempat diucapkan
Kayu kepada api yang menjadikannya abu. *
For vieny, welcome to your husband’s heart.
*dikutip dari Aku ingin mencintaimu dengan sederhana karya Sapardi Djoko
Damono
Posting Komentar